
Mommies Daily – Kesalahan Orang Tua yang Bisa Menumbuhkan Benih Korupsi pada Anak
Kenali 10 kesalahan pola asuh orang tua yang tanpa sadar bisa membuat anak tumbuh jadi koruptor di masa depan, serta tips pendidikan antikorupsi.
Korupsi sering dianggap sebagai masalah besar yang hanya terjadi di level politik atau bisnis. Padahal, perilaku ini tidak muncul tiba-tiba. Akar korupsi bisa dimulai sejak kecil, ketika anak masih berada di rumah dan belajar langsung dari perilaku orang tuanya.
Orang tua memegang peran penting dalam menanamkan nilai moral. Kalau salah pola asuh, tanpa sadar orang tua bisa menanamkan bibit korupsi sejak dini. Misalnya, anak yang terbiasa melihat orang tua berbohong untuk hal sepele bisa menganggap ketidakjujuran itu normal. Dari kebiasaan kecil inilah perilaku curang dan benih korupsi berkembang.
Supaya lebih jelas, berikut adalah 10 kesalahan pola asuh orang tua yang bisa membuat anak tumbuh dengan potensi perilaku koruptif.
BACA JUGA: Anak Berani Jujur dan Terbuka Kepada Orangtua, Bagaimana Caranya?
Benih Korupsi Bisa Muncul dari Rumah: 10 Kesalahan Pola Asuh Orang Tua
Foto: Freepik
Peran orang tua dalam membentuk karakter anak sangat penting. Orang tua dapat mencegah perkembangan bibit perilaku korupsi pada anak:
1. Memberikan contoh perilaku tidak jujur
Anak-anak belajar dari meniru. Kalau orang tua bilang “jangan bohong” tapi mereka sendiri sering berbohong, anak akan bingung. Anak bisa menyerap bahwa bohong itu sah-sah saja. Penelitian menunjukkan, anak yang sering melihat orang tuanya berperilaku tidak etis lebih mungkin meniru perilaku tersebut.
2. Mengabaikan pendidikan moral
Pendidikan moral itu bukan hanya tugas sekolah, tapi juga tanggung jawab keluarga. Nilai kejujuran, empati, tanggung jawab, dan integritas harus diajarkan berulang kali. Kalau anak tumbuh tanpa arahan ini, mereka bisa kebingungan menghadapi dilema moral.
Misalnya, anak yang tidak terbiasa diajak bicara soal benar dan salah bisa dengan tanpa bersalah mencontek, karena merasa “yang penting hasil bagus” tanpa memikirkan cara mencapainya.
3. Pola asuh permisif dan otoriter
Pola asuh terlalu permisif (membiarkan anak melakukan apa pun) bisa membuat anak merasa tidak ada batasan. Sebaliknya, pola asuh otoriter (serba melarang dan menghukum keras) bisa menumbuhkan sikap licik, karena anak belajar untuk berbohong demi menghindari hukuman.
Contoh sederhana: ketika anak malas mengerjakan PR. Orang tua permisif mungkin membiarkan begitu saja, sementara orang tua otoriter akan memarahi habis-habisan. Hasilnya, anak bisa tumbuh dengan dua kemungkinan buruk: tidak disiplin atau justru mencari cara curang agar lolos dari hukuman.
4. Tidak mengajarkan konsekuensi dari tindakan
Setiap perbuatan punya konsekuensi. Kalau anak merusak barang tapi orang tua tidak menegurnya, anak akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab.
Sebaliknya, mengajarkan konsekuensi—misalnya meminta anak memperbaiki atau mengganti barang yang rusak—bisa menanamkan pemahaman bahwa semua tindakan harus dipertanggungjawabkan.
5. Tidak menjadi teladan yang baik
Keteladanan jauh lebih kuat dibanding nasihat. Kalau orang tua sering “ngomong doang” tanpa memberi contoh nyata, anak bisa bingung menentukan standar moral.
Misalnya, orang tua bilang jangan main HP saat makan, tapi mereka sendiri asyik scrolling media sosial di meja makan. Anak belajar bahwa aturan bisa dilanggar kalau merasa punya kuasa.
Foto: Freepik
6. Mengabaikan perilaku menyimpang
Mendeteksi potensi korupsi pada anak bisa dilihat sejak usia dini Ketika anak ketahuan berbohong, mencuri kecil-kecilan, atau melanggar aturan, respon orang tua sangat penting. Kalau perilaku menyimpang itu dibiarkan, anak bisa merasa tidak ada masalah dengan tindakannya.
Sebaliknya, dengan memberi teguran, diskusi, atau konsekuensi yang adil, orang tua bisa menunjukkan batas yang jelas antara benar dan salah.
7. Tidak mengajarkan empati
Empati adalah kunci agar anak peduli pada orang lain. Bradford Wiles, Spesialis Perkembangan Anak di Kansas State University, mengatakan, “Anak mulai memahami bahwa orang lain punya keyakinan, pikiran, dan keinginan berbeda pada usia sekitar tiga tahun. Inilah waktu penting untuk mengajarkan mereka tentang empati.”
Tanpa empati anak bisa tumbuh dengan mental “asal saya untung,” yang menjadi fondasi perilaku koruptif.
8. Menekankan kesuksesan material di atas integritas
Ketika orang tua terlalu menekankan pentingnya sukses—punya nilai tinggi, prestasi, atau kekayaan—tanpa peduli cara mencapainya, anak belajar bahwa hasil lebih penting daripada proses.
Contohnya, anak dimarahi karena nilai jelek, tapi tidak diapresiasi ketika jujur mengaku kesulitan. Anak bisa terdorong mencontek demi menghindari hukuman. Lama-lama, mereka belajar bahwa cara curang bisa diterima asalkan hasilnya “baik.”
9. Tidak memberikan pendidikan tentang etika dan integritas
Etika dan integritas bukan hanya pelajaran formal di sekolah, tetapi harus ditanamkan di rumah. Anak perlu diberi contoh nyata bagaimana menolak ajakan berbuat curang, bagaimana menghargai hak orang lain, dan bagaimana mengakui kesalahan.
Tanpa itu semua, anak akan kesulitan menentukan sikap ketika menghadapi dilema moral di kehidupan nyata.
10. Tidak membangun komunikasi terbuka
Komunikasi yang sehat dengan anak adalah benteng yang kuat. Kalau anak takut berbicara jujur karena takut dimarahi, mereka akan mencari jawaban di luar rumah yang belum tentu tepat.
Dengan komunikasi terbuka, orang tua bisa memahami dilema yang dihadapi anak, sekaligus mengarahkan mereka ke jalan yang benar.
Tips Pendidikan Antikorupsi untuk Anak
Foto: Freepik
Nah, setelah tahu kesalahan yang perlu dihindari, orang tua bisa menerapkan Pendidikan antikorupsi berikut:
- Jadi teladan kejujuran. Anak lebih mudah meniru daripada mendengar ceramah. Mereka juga menyerap perilaku orang tua. Jika orang tua menunjukkan kejujuran—misalnya mengakui kesalahan sendiri, berkata jujur dalam hal-hal kecil—anak akan melihat bahwa jujur itu penting.
- Ciptakan lingkungan aman untuk kejujuran. Dr. Kang Lee dari University of Toronto menekankan, “Mengajarkan pentingnya kejujuran atau buruknya kebohongan tidak menjamin anak pasti menjadi pribadi jujur. Tapi menekankan manfaat dari kejujuran akan mendorong anak suka berlaku jujur.”
- Beri pujian yang tulus saat anak berkata jujur, terutama dalam situasi yang sulit atau ketika mungkin lebih mudah berbohong, Mereka jadi belajar bahwa kejujuran akan dihargai.
- Memperbolehkan anak mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka tanpa takut dihakimi atau dimarahi. Orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian dan bertanya dengan lembut (“bagaimana perasaan kamu?”, “kenapa kamu melakukan itu?”) sehingga anak merasa dihargai dan didengar.
- Latih empati setiap hari. Kenneth Barish, PhD, mengatakan,” Empati adalah nutrisi penting bagi kesehatan psikologis di masa kanak-kanak dan kebutuhan dasar manusia untuk membangun hubungan yang empatik di sepanjang hidup mereka.”
- Ajarkan anak untuk melihat dari perspektif orang lain (“bagaimana perasaan temanmu jika kamu melakukan hal itu?”, “apa yang mungkin temanmu rasakan?”). Orang tua bisa mencontohkan empati dalam kehidupan sehari-hari, misalnya merespon perasaan anak atau orang lain dengan tulus.
- Ketika anak melakukan kesalahan, jangan gampang marah dan menghakimi. Lakukan diskusi, beri konsekuensi yang adil, dan pembelajaran. Hukuman yang terlalu keras bisa membuat anak takut mengakui kesalahan dan lebih memilih berbohong.
- Anak diberi kesempatan untuk mengakui kesalahan dan belajar memperbaikinya. Misalnya jika mereka memecahkan barang, bukan langsung disalahkan, tetapi bersama-sama memperbaiki atau membersihkannya. Ini mengajarkan bahwa bagian dari jujur adalah bertanggung jawab atas konsekuensinya.
BACA JUGA: 5 Kebiasaan Ayah yang Bisa Jadi Contoh Baik untuk Anak
Cover: Freepik
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.